Darkplaces: Kisah Sang Penyintas

April 28, 2016

Darkplaces, satu karya Gillian Flynn yang ternyata sudah terbit sejak 2009--lebih dulu dibanding Gone Girl. Tapi, di Jakarta, Indonesia, sepertinya sih gaungnya tidak terlalu terdengar dibanding Gone Girl yang lebih dulu difilmkan. Novel ini difilmkan juga dengan bintang utama Charlize Theron, tapi dirilisnya tahun 2015 setelah film Gone Girl meraih sukses yang sangat besar. Kalau boleh dibilang, novel ini masuk dalam New York Times Best Seller List tahun 2009 dan masuk dalam buku rekomendasi versi Indie Bound. 


Darkplaces ini bercerita mengenai Libby Day--satu-satunya survivor dari pembantaian keluarganya di sebuah rumah pertanian di Kinnakee, Missouri. Sebenarnya yang selamat tidak hanya dia, tetapi ada kakak laki-lakinya atau abangnya--Ben--yang juga masih hidup. Namun, Ben dianggap bersalah karena membunuh keluarganya, kecuali Libby yang dianggap selamat dan saksi kunci. Sebenarnya, Libby kecil bukan saksi kunci karena setelah dewasa ia sadar bahwa dia tidak melihat Ben membunuh keluarganya. Ketidakyakinan Libby ini diawali dengan krisis keuangan yang dialaminya. Hampir dibilang dia minus pemasukan dan minus skill sehingga wajar dia waswas dengan kehidupannya. Tawaran yang berbau uang pun diterima dengan senang hati hingga suatu kali dia bersedia ikut dalam Kill Club yang berdiskusi tentang kasus-kasus lama, termasuk kasus pembunuhan keluarganya. Melalui klub tersebut, Libby mendapatkan uang dengan catatan ia harus menyelidiki siapa pembunuh keluarganya. Satu per satu orang yang dicurigai berhubungan dengan kasus dan keluarganya itu dicari dan dihubungi hingga pada suatu kali ia menemukan jawabannya dari seorang perempuan yang malah berniat membunuhnya. 

Saya suka cara bercerita Flynn dalam buku ini. Jujur, saya belum membaca novel Gone Girl, jadi agak sulit untuk membandingkan. Tapi, biasanya ketika membaca satu karya dari penulis yang sama, karya yang lainnya akan tampak ciri khas si penulis. Begitu juga dengan Darkplaces.

Seperti Gone Girl, Darkplaces masuk kategori novel thriller. Kisahnya masih seputar di tema yang sama dengan Gone Girl, yaitu pembunuhan. Namun, pembunuhan dalam Darkplaces lebih "wah" dibanding Gone Girl karena sudah masuk isu cult yang sepertinya terjadi di Amerika Serikat sekitar tahun 1980-an.

Penggambaran tokoh-tokohnya boleh dibilang menarik. Gambarannya tidak mendetail, tetapi begitu bagus. Saya bisa merasakan bagaimana Libby begitu depresi dan sinis terhadap hidupnya dan orang-orang di sekitarnya. Ben ketika remaja merupakan laki-laki yang ragu dan sulit untuk mengambil keputusannya sendiri. Bahkan, Patty Day--sang ibu--tergambar sebagai perempuan yang kelelahan dan stres dengan kehidupan yang mengimpitnya. Ya, penggambaran tokoh-tokoh dalam novel ini memang begitu kuat. Dibanding alur, menurut saya, lebih kuat penggambaran tokohnya.

Yang unik dari novel ini adalah penggunaan dua sudut pandang. Sebenarnya, tidak terlalu mengganggu, tetapi kok saya merasa menyalahi kaidah dalam tulis-menulis. Dulu, pengajar saya soal tulis-menulis mewanti-wanti: jangan menggunakan dua sudut pandang yang berbeda dalam satu kisah karena bisa membingungkan pembaca. Saya pun tidak mendapat nilai bagus ketika mencoba membuat tulisan fiksi dengan dua sudut pandang. Namun, Flynn cukup berani menampilkan dua sudut pandang ini. Ketika bercerita Libby, dia akan menggunakan sudut pandang akuan. Tapi, ketika bercerita Ben, Patty, atau tokoh lainnya, dia menggunakan sudut pandang diaan. Agak membingungkan memang, tapi kebingungannya bisa dinikmati kok.

Ending dari Darkplaces yaa bisa dibilang cukup bagus. Namun, saya masih merasa gak mudeng ketika ada tokoh lain yang ujug-ujug muncul, tanpa adanya clue. Apalagi ini masuk kategori novel thriller. Sebenarnya dikasih clue, tetapi kurang menohok untuk saya ditambah lagi dengan penyelesaian masalah si Patty yang agak kurang masuk akal menurut saya. Tapi, kalau dibandingkan dengan The Girl on the Train, Darkplaces ada satu tingkat di atasnya untuk dibaca. Happy reading, y'll!

 

You Might Also Like

2 komentar